Pages

Selasa, 03 Agustus 2010

Menjadi Guru Matematika yang Disenangi Siswa



Terkait dengan rasa apriori yang berlebihan terhadap matematika ditemukan beberapa penyebabnya, di antaranya adalah yang mencakup penekanan berlebihan pada penghafalan, penekanan pada kecepatan berhitung, pengajaran otoriter, kurangnya variasi dalam proses belajar-mengajar, dan penekanan berlebihan pada prestasi individu. Untuk mengatasi hal ini, peran guru sangat penting, sehingga pengajaran matematika pun harus dirubah. Jika sebelumnya, pengajaran matematika terfokus pada hitungan aritmetika saja, maka saat ini, guru harus meningkatkan kemampuan siswa dalam bernalar dengan menggunakan logika matematis.

Bermatematika di zaman “dewasa” ini harus aplikatif dan sesuai dengan kebutuhan hidup modern. Matematika bukan lagi sekadar aritmetika tetapi beragam jenis topik dan tentunya materi yang dapat dijadikan untuk menyelesaikan pelbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu pembelajaran matematika juga harus dapat mendukung pengembangan di bidang sains dan teknologi

Mengajar matematika bukan sekadar mengenal angka dan menghafalnya namun bagaimana anak memahami makna matematika. Guru harus memberi kesempatan anak untuk bereksplorasi. Yang terpenting dalam menumbuhkan cinta anak pada matematika adalah terbiasanya anak menemukan konsep matematika melalui permainan dalam suasana santai di rumah dalam rangka mempersiapkan masa depan anak.

Tetapi, yang penting untuk diketahui dan dijadikan pegangan adalah bahwa matematika itu merupakan ilmu dasar dari pengembangan sains (basic of science) dan sangat berguna dalam kehidupan. Dalam perdagangan kecil-kecilan saja, orang dituntut untuk mengerti aritmetika minimal penjumlahan dan pengurangan. Bagi pegawai/karyawan perusahaan harus mengerti waktu/jam, Bendaharawan suatu perusahaan harus memahami seluk beluk keuangan. Ahli agama, politikus, ekonom, wartawan, petani, ibu rumah tangga, dan semua manusia “sebenarnya” dituntut menyenangi matematika yang kemudian berupaya untuk belajar dan memahaminya, mengingat begitu pentingnya dan banyaknya peran matematika dalam kehidupan manusia.

Fakta menunjukkan, tidak sedikit siswa sekolah yang masih menganggap matematika adalah pelajaran yang bikin “stress”, membuat pikiran bingung, menghabiskan waktu dan cenderung hanya mengotak-atik rumus yang tidak berguna dalam kehidupan. Akibatnya, matematika dipandang sebagai ilmu yang tidak perlu dipelajari dan dapat diabaikan. Hampir belum pernah dijumpai proses pembelajaran matematika yang dikaitkan langsung dengan kehidupan nyata. Menyikapi hal ini, menurut hemat penulis dalam rangka menyelamatkan “nyawa” matematika, maka satu hal yang segera dilakukan adalah bagaimana membuat siswa senang untuk belajar matematika?

Peran Guru dalam Pembelajaran Matematika

Secara umum, tugas guru matematika di antaranya adalah: Pertama, bagaimana materi pelajaran itu diberikan kepada siswa sesuai dengan standar kurikulum. Kedua, bagaimana proses pembelajaran berlangsung dengan melibatkan peran siswa secara penuh dan aktif. Merupakan tantangan bagi guru untuk senantiasa berpikir dan bertindak kreatif di tengah kegelisahan dan keterpurukan nasib guru. Namun, penulis yakin masih banyak pendidik yang menanggapi ke”lesu”an hidup tersebut dengan sikap optimistik dan penuh tanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban sebagai guru.

Masalah pada tahap pertama, yakni menyampaikan materi sesuai dengan tuntutan standar kurikulum. Pembelajaran matematika, yang dirumuskan oleh National Council of Teachers of Matematics atau NCTM (2000) menggariskan, bahwa siswa harus mempelajari matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.

Untuk mewujudkan hal itu, Yaniawati (2006) merumuskan ada lima tujuan umum pembelajaran matematika, yaitu: 1) belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); 2) belajar untuk bernalar (mathematical reasoning); 3) belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving); 4) belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections); dan 5) pembentukan sikap positif terhadap matematika (positive attitudes toward mathematics). Semua itu lazim disebut mathematical power (daya matematika).

Sedangkan masalah pada tahap kedua, menetapkan model pembelajaran yang efektif. Pada dasarnya atmosfer pembelajaran merupakan hasil sinergi dari tiga komponen pembelajaran utama, yakni siswa, kompetensi guru, dan fasilitas pembelajaran. Ketiga komponen tersebut pada akhirnya bermuara pada area proses dan model pembelajaran.

Berorientasi pada Siswa

Agar tujuan pembelajaran Matematika dapat tercapai maksimal, maka harus diupayakan agar semua siswa lebih mengerti dan memahami materi yang diajarkan daripada harus mengejar target kurikulum tanpa dibarengi pemahaman materi. Dalam prakteknya, pembelajaran berorientasi pada siswa ini dapat dilaksanakan dengan cara pendampingan siswa satu persatu atau per kelompok. Penjelasan materi dan contoh pengerjaan soal diberikan secara klasikal di depan kelas. Kemudian ketika siswa mengerjakan latihan soal guru (beserta asistennya) keliling untuk memperhatikan siswa secara personal. Tugas guru adalah membantu siswa agar dapat menyelesaikan tugasnya sampai benar.

Hal yang paling esensial ketika mendampingi adalah menumbuhkan keyakinan dalam diri siswa bahwa saya (baca: siswa) bisa dan mampu mengerjakan soal. I can do it. Guru harus berusaha menghilangkan persepsi dalam diri siswa bahwa matematika itu sulit dan mengusahakan agar siswa memiliki pengalaman bahwa belajar matematika itu mudah dan menyenangkan. Kiranya model pembelajaran ini dapat berjalan efektif jika kapasitas setiap ruang berkisar 15–20 siswa. Tetapi jika lebih, maka pembelajaran model yang demikian tetap dapat berlangsung namun harus dibantu oleh beberapa guru atau asisten.

Belajar Matematika yang Menyenangkan

Usaha selanjutnya adalah mengusahakan bagaimana agar suasana ruang kelas yang digunakan untuk belajar siswa adalah kondusif. Dengan kata lain tata letak perabot kelas tidak harus diatur secara “formal“. Sering kita jumpai, ada siswa yang malas belajar ketika harus duduk tenang dan serius. Mereka lebih senang dan nyaman ketika belajar sambil tidur-tiduran di atas karpet. Menyikapi hal ini guru sebaiknya memberi kebebasan kepada siswa untuk belajar atau mengerjakan soal latihan di atas bangku atau di lantai.

Ada juga siswa yang dalam belajarnya harus mendengarkan musik. Memang, musik tidak berkaitan langsung dengan matematika. Musik bukan merupakan alat peraga dalam pembelajaran matematika. Namun musik memainkan peran dalam membantu untuk menciptakan kenyamanan belajar di kelas. Musik hanya merupakan pengiring ketika para siswa mengerjakan soal. Sehingga musik dapat membuat siswa lebih nyaman ketika belajar matematika. Namun, dalam hal ini etika dan menghargai teman lain juga perlu diperhatikan.

Selain tersebut, dijumpai juga siswa yang senang “ngemil” atau makan-makanan yang ringan seperti permen, kerupuk atau lainnya. Menyikapi siswa yang demikian tentunya guru juga tidak dapat melarang serta merta kepada siswa untuk makan di dalam kelas. Pada intinya, apapun yang dapat menjadikan siswa nyaman dan senang untuk belajar matematika sebaiknya oleh sang guru tidak dilarang secara keras. Berikan kebebasan bergerak dan befikir kepada siswa yang tentunya juga tetap dalam batas-batas kewajaran.

Menyelenggarakan pembelajaran matematika secara efektif dan dapat membuat siswa bergairah untuk mengikutinya merupakan hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi untuk menuju bangsa yang berkemampuan unggul dalam Sumber Daya Manusia (SDM). Dengan mempraktekkan strategi pembelajaran di atas diharapkan “nyawa” matematika dapat terselamatkan. Dengan kata lain, siswa tidak lagi terjangkit penyakit fobia matematika sehingga siswa menjadi senang untuk belajar matematika.

Tidak ada komentar: