Pages

Senin, 05 Desember 2011

Nasib Pendidikan Nonformal-Informal



Perubahan Landasan Hukum PNFI
Dalam UU No. 2/1989 tentang Sisdiknas yang lama, jalur pendidikan terdiri dari 2 jalur, jalur sekolah dan luar sekolah. Jalur sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar secara berjenjang dan bersinambungan. Sedangkan jalur luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah, tanpa harus berjenjang dan berkelanjutan.

Paska reformasi, lahirlah UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, yang merupakan pengganti bagi UU No. 2/1989. Terjadi sedikit perubahan jalur pendidikan dari 2 jalur, menjadi 3 jalur: Formal, Nonformal, dan Informal. Jalur pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Sedangkan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Berdasarkan UU Sisdiknas yang baru tersebut, pendidikan nonformal di Indonesia diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan, yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Selain itu berfungsi juga dalam mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Hal ini lalu seringkali diterjemahkan sebagai sekolah bagi warga miskin yang tak mampu mengakses sekolah formal, sehingga warga belajar PNF seringkali adalah anak-anak usia sekolah.

Berbeda dengan UU Sisdiknas lama, yang dengan jelas menyebut pendidikan nonformal tidak harus terstruktur dan berjenjang, dan juga tidak menyebut kesetaraan dengan pendidikan formal. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standard nasional pendidikan.

Sedangkan pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, yang hasilnya diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Dalam UU Sisdiknas yang lama, pendidikan informal termasuk dalam jalur pendidikan luar sekolah.

Implementasi Pendidikan Nonformal/Informal
Dalam implementasinya, sistem pendidikan nonformal dan informal disatukan dalam satu Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) di bawah Kementrian Pendidikan Nasional. Direktorat ini memiliki visi Terwujudnya manusia Indonesia pembelajar sepanjang hayat, dan dijabarkan dalam 7 misi utama:

1. Program pendidikan anak usia dini (PAUD) bermutu yang mampu "melejitkan" kecerdasan anak, membentuk kesiapan belajar lebih lanjut, serta melaksanakan pelayanan dengan jangkauan sasaran yang semakin meluas, merata, dan berkeadilan.
2. Program pendidikan keaksaraan bermutu yang mampu meningkatkan kompetensi keaksaraan pada semua tingkatan (dasar, fungsional, dan lanjutan) bagi penduduk buta aksara dewasa secara meluas, adil dan merata untuk mendorong perbaikan kesejahteraan dan produktivitas penduduk, dan ikut serta dalam mendukung perbaikan peringkat IPM.
3. Program pendidikan kesetaraan bermutu dan relevan yang mampu meningkatkan kecakapan hidup, termasuk kesiapan kerja, produktivitas dan kemandirian peserta didik, serta dalam rangka mendukung keberhasilan penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun dan perluasan akses pendidikan menengah nonformal.
4. Kelembagaan kursus dan kursus para-profesi yang berorientasi pada peningkatan kecakapan hidup (PKH) yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat serta pelayanan yang semakin meluas, adil dan merata, khususnya bagi penduduk miskin dan penganggur terdidik, dapat bekerja dan/atau berusaha secara produktif, mandiri, dan profesional.
5. Terwujud pendidikan yang berkeadilan gender melalui peningkatan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pendidikan serta mendukung upaya pencegahan diskriminasi, traficking, dan tindak kekerasan sebagai wujud perlindungan HAM.
6. Masyarakat pembelajar sepanjang hayat melalui peningkatan budaya baca serta penyediaan bahan-bahan bacaan yang berguna baik bagi aksarawan baru maupun anggota masyarakat lainnya agar memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang relevan bagi peningkatan produktivitas mereka.
7. Terwujud peningkatan kapasitas kelembagaan, sarana dan prasarana yang memadai, serta ketenagaan yang profesional, dan satuan pendidikan nonformal yang terakreditasi agar mampu menjangkau sasaran yang semakin luas, adil dan merata serta dapat memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang terus berkembang.


Pendidikan nonformal sebagai jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang, juga dikutip kembali dalam PP No. 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Pendidikan nonformal juga terikat oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan.

Selain itu sistem pendidikan nonformal kita juga harus mengikuti aturan akreditasi, dengan adanya Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN-PNF) yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jalur pendidikan nonformal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (Pasal 1 ayat 25).

Berdasarkan aturan di atas, pendidikan nonformal di Indonesia, yang dalam istilah lainnya disebut Non-Formal Education (NFE), harus mengikuti standarisasi dan pemformalan sistem, baik dalam isi, proses, maupun hasil. Tak heran jika kemudian KTSP dan Ujian Nasional juga diberlakukan bagi pendidikan nonformal, meski dalam UU hanya menyebut dapat dihargai sama dengan pendidikan formal jika mengikuti ujian tertentu.


Interpretasi UU itu menyiratkan bahwa pemegang ijazah Paket A, B, dan C seharusnya tidak harus setara dengan lulusan SD, SMP, dan SMA. Tetapi jika warga belajarnya ingin setara dengan jalur formal, maka mereka diwajibkan mengikuti ujian nasional pendidikan kesetaraan. Terasa sebagai sebuah pilihan bagi warga belajarnya, tetapi dalam prakteknya seolah menjadi kewajiban bahwa lulusan Paket A, B, dan C, HARUS setara dengan SD, SMP, dan SMA.

Tetapi dalam Permendiknas RI Nomor 15 Tahun 2008 tentang Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan, Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan yang selanjutnya disebut UNPK adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik program Paket A, Paket B, dan Paket C yang dilakukan oleh Pemerintah. Satuan pendidikan nonformal kesetaraan adalah penyelenggara pendidikan kesetaraan, mencakup Kelompok Belajar, Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), dan satuan pendidikan sejenis lainnya.

Mata pelajaran yang diujikan dalam UNPK Paket A meliputi (1) Bahasa Indonesia, (2) Matematika, (3) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), (4) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan (5) Pendidikan Kewarganegaraan. Lalu ujian nasional Paket B yang meliputi (1) Bahasa Indonesia, (2) Bahasa Inggris, (3) Matematika, (4) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), (5) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan (6) Pendidikan Kewarganegaraan.

Mata ujian untuk Paket C-IPS yang setara dengan SMA-IPS meliputi (1) Bahasa Indonesia, (2) Bahasa Inggris, (3) Matematika, (4) Ekonomi, (5) Geografi, (6) Sosiologi, dan (7) Pendidikan Kewarganegaraan/Tata Negara. Untuk Paket C-IPA yang meliputi (1) Bahasa Indonesia, (2) Bahasa Inggris, (3) Matematika, (4) Biologi, (5) Fisika, (6) Kimia, dan (7) Pendidikan Kewarganegaraan.

Persyaratan peserta UNPK bagi peserta didik Program Paket A, Paket B, dan Paket C adalah:

* terdaftar pada satuan pendidikan nonformal kesetaraan;
* memiliki laporan lengkap penilaian hasil belajar pada satuan pendidikan formal atau nonformal mulai semester I tahun pertama hingga semester I tahun terakhir;
* untuk Paket B dan Paket C memiliki ijazah dari satuan pendidikan yang setingkat lebih rendah dengan minimum usia ijazah 3 tahun atau usia ijazah minimum 2 tahun bagi peserta UNPK yang berusia 25 tahun atau lebih.
* Khusus untuk peserta UNPK Program Paket C yang berasal dari Kulliyatul/Tarbiyatul Mu’allimin memiliki dokumen yang membuktikan bahwa yang bersangkutan telah menyelesaikan program pendidikan selama tiga tahun di satuan pendidikan tersebut.

Persyaratan peserta UNPK bagi peserta didik yang pindah jalur dari pendidikan formal ke pendidikan nonformal kesetaraan adalah:

* terdaftar pada satuan pendidikan nonformal kesetaraan;
* memiliki kartu tanda peserta ujian nasional pendidikan formal dan surat keterangan tidak lulus atau telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran di pendidikan formal;

Persyaratan peserta UNPK bagi peserta didik yang belajar secara mandiri adalah:

* terdaftar pada satuan pendidikan nonformal kesetaraan atau pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota setempat;
* memiliki ijazah dari satuan pendidikan yang setingkat lebih rendah dengan minimum usia ijazah 3 tahun.
* pengecualian terhadap ayat (4) huruf b dapat diberikan kepada peserta didik yang menunjukkan kemampuan istimewa yang dibuktikan dengan kemampuan akademik dari pendidik dan IQ 130 ke atas yang dinyatakan oleh lembaga yang disetujui BSNP.

Memperhatikan peraturan ini, maka tak aneh pula jika keberadaan Pendidikan Nonformal, terutama program kesetaraan, semakin terdesak oleh paradigma pendidikan formal yang serba akademik. Visi tentang pendidikan nonformal sebagai pendidikan sepanjang hayat, dan mengembangkan potensi dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional, mendadak lenyap. Ini didorong juga oleh rekrutmen tutor pendidikan kesetaraan yang banyak diambil dari guru sekolah formal.

Lingkaran setan ini harus bisa diakhiri, paling tidak dimulai dengan kaji uang penerapan PNFI di Indonesia, lalu mengajukan perubahan kebijakan yang simpang siur. Lembaga P2PNFI sebagai Pusat Pengembangan PNFI, yang salah satu fungsinya adalah merumuskan kebijakan teknis di bidang pendidikan nonformal dan informal di wilayah kerjanya dapat secara aktif membuat kajian dan mengadvokasikan perubahan mendasar, secara bertahap. Isu bahwa program kesetaraan akan diambil alih oleh Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, mungkin bisa menjadi awal bagi PNFI untuk menemukan kembali jati dirinya.