Pages

Minggu, 26 September 2010

Antara Behavoristik dan Konstruktivistik dalam Pembelajaran SMA Kelas XII (Persiapan UNAS)

Kritik siswa yang dikumpulkan oleh kepala sekolah terhadap guru pengajar kelas tiga menjadi salah satu motivasi seorang kepala sekolah untuk bertanggung jawab akan instansinya tetapi mungkin tidak bagi gurunya. Hal ini sebenarnya masih bisa dikatakan dalam ranah kembali lagi ke teori behavioristik sedangkan KTSP menjadi kurikulum yang dibanggakan di era reformasi ini apalagi setiap sekolah dipromosikan untuk menjadi RSBI/SBI. Pemahaman saya kemudian jika bahan kritik yang dilakukan itu hanya untuk mencari bentuk profesionalisme dan kompetensi yang dimiliki para guru mungkin tidak tepat adanya karena sudut pandang yang digali berbeda dengan sudut pandang setiap pendidik. Jika hal itu hanya untuk mencari kepuasan siswa karena membayar sekolah sedemikian rupa, hal itu juga tidak sesuai dengan hak asasi manusia. Jika hal itu dianggap cara paling efektif untuk mengetahui guru yang profesional atau tidak, dalam lembaga formal seperti tidak serta merta benar adanya karena hal itu akan menimbulkan reaksi mental guru hanya sebatas sebagai pemberi kepuasa karena dibayar. Subhanallah hal ini amat jelek dan tidak manusiawi/ tidak humanis.



Papran sekelumit problematika tersebut saya pahami sebagai setengah bentuk teori behavirisme yang tidak tepat sasaran dan bentuk konstruktivisme yang tidak paham akan makna yang sebenarnya. Hal ini akan menyebabkan kerusakan pendidikan bangsa kita. berbicara behaviorisme ada beberapa tokoh yang terkenal dengan teorinya:

Tokoh-tokoh

Edward Lee Thorndike (1874-1949)

Menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi anatara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut teori “connectionism”. Eksperimen yang dilakukan adalah dengan kucing yang dimasukkan pada sangkar tertutup yang apabila pintunya dapat dibuka secara otomatis bila knop di dalam sangkar disentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori Trial dan Error. Ciri-ciri belajar dengan Trial dan Error Yaitu : adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap berbagai situasi, adal eliminasai terhadap berbagai respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan. Thorndike menemukan hukum-hukum.

1 Hukum kesiapan (Law of Readiness)

Jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosaiasi cenderung diperkuat.

2 Hukum latihan

Semakin sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin kuat.

3 Hukum akibat

Hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibanya tidak memuaskan.



Ivan Petrovich Pavlo (1849-1936) dan Watson

Pavlo mengadakan percobaan laboratories terhadap anjing. percobaan akan anjing itu di beri stimulus bersarat sehingga terjadi reaksi bersarat pada anjing. Contoh situasi percobaan tersebut pada manusia adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu tanpa disadari menyebabkan proses penandaan sesuatu terhadap bunyi-bunyian yang berbeda dari pedagang makan, bel masuk, dan antri di bank. Dari contoh tersebut diterapkan strategi Pavlo ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan. Sementara individu tidak sadar dikendalikan oleh stimulus dari luar. Belajar menurut teori ini adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang menimbulkan reaksi.Yang terpenting dalam belajar menurut teori ini adalah adanya latihan dan pengulangan. Kelemahan teori ini adalah belajar hanyalah terjadi secara otomatis keaktifan dan penentuan pribadi dihiraukan.



Carlk L. Hull

Clark lebih menekankan dalam bidang "Reinforcement" dia menyebutkan bahwa faktor penting dalam belajar yang harus ada adalah reinforcement Namun fungsi reinforcement bagi Hull lebih sebagai drive reduction daripada satisfied factor. Dalam mempelajari hubungan S-R yang diperlu dikaji adalah peranan dari intervening variable (atau yang juga dikenal sebagai unsur O (organisma). Faktor O adalah kondisi internal dan sesuatu yang disimpulkan (inferred), efeknya dapat dilihat pada faktor R yang berupa output.



Skinner (1904-1990)

Skinner menganggap reward dan rierforcement merupakan factor penting dalan belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal mengontrol tingkah laku. Pda teori ini guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning.

Operant conditing menjamin respon terhadap stimuli.Bila tidak menunjukkan stimuli maka guru tidak dapat membimbing siswa untuk mengarahkan tingkah lakunya. Guru memiliki peran dalam mengontrol dan mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tercapai tujuan yang diinginkan Skinner membagi menjadi 2 jenis respon.

1. Responden

Respon yang terjadi karena stimulus khusus misalnya Pavlo.

2. Operans

Respon yang terjadi karena situasi random. Operans conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operans yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan.

Prinsip belajar Skinners adalah :

1. Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan jika benar diberi penguat.

2. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.

3. Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.

4. Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.

5. dalam pembelajaran digunakan shapping



Robert Gagne (1916-2002)

Teori gagne banyak dipakai untuk mendisain Software instructional (Program berupa Drill Tutorial). Kontribusi terbesar dari teori instructional Gagne adalah 9 kondisi instructional:

1. Gaining attention = mendapatkan perhatian

2. intorm learner of objectives = menginformasikan siswa mengenai tujuan yang akan dicapai

3. stimulate recall of prerequisite learning = stimulasi kemampuan dasar siswa untuk persiapan belajar.

4. Present new material = penyajian materi baru

5. Provide guidance = menyediakan pembimbingan

6. Elicit performance = memunculkan tindakan

7. Provide feedback about correctness = siap memberi umpan balik langsung terhadap hasil yang baik

8. Assess performance = Menilai hasil belajar yang ditunjukkan

9. Enhance retention and recall = meningkatkan proses penyimpanan memori dan mengingat.

Gagne disebut sebagai modern noebehaviouristik mendorong guru untuk merencanakan pembelajaran agar suasana dan gaya belajar dapat dimodifikasi.



Albert Bandura (1925-sekarang)

Teori belajar Bandura adalah teori belajar social atau kognitif social serta efikasi diri yang menunjukkan pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku, sikap dan emosi orang lain. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi tingkah laku timbale balik yang berkesinambungan antara kognitine perilaku dan pengaruh lingkungan. Factor-faktor yang berproses dalam observasi adalah perhatian, mengingat, produksi motorik, motivasi. Aplikasi teori behaviouristik terhadap pembelajaran siswa Guru yang menggunakan paradigma behaviourisme akan menyusun bahan pelajaran yang sudah siap sehingga tujuan npembelajaran yang dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak hanya memberi ceramah tetapi juga contoh-contoh. Bahan pelajaran disusun hierarki dari yang sederhana sampai yang kompleks. Hasil dari pembelajaran dapat diukur dan diamati, kesalahan dapat diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkanKekurangan dan kelebihan Metode ini sangat cocok untuk pemerolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsure kecepatan spontanitas kelenturan daya tahan dsb. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan peran orang tua. Kekurangan metode ini adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat mekanistis dan hanya berorientasi pada hasil. Murid dipandang pasif, murid hanya mendengarkan,menghafal penjelasan guru sehingga guru sebagai sentral dan bersifat otoriter.



Semua pakar tersebut bisa dikelompokkan pemikirannya dalam satu kata yaitu bersiafat "MEKANIK" artinya serba dengan peraturan yang baku dan harus seperti itu selamanya.Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme introspeksionisme (yang menganalisis jiwa manusia (yang menganalisis jiwa manusia berdasarkan laporan laporan subjektif) dan juga‑berdasarkan laporan laporan subjektif) dan juga ‑ psikoanalisis psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sedar (yang berbicara tentang alam bawah sedar yang tidak nampak). Behaviorisme ingin menganalisis yang tidak nampak). Behaviorisme ingin menganalisis hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan . dilukiskan, dan diramalkan . Dikenali juga sebagai ‘teori belajar’.Menurut Dikenali juga sebagai ‘teori belajar’.Menurut mereka,perilaku manusia kecuali mereka,perilaku manusia kecualiins tinct instinct adalah hasil adalah hasil belajar. Belajar ertinya perubahan perilaku organisme belajar. Belajar ertinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan kultur. sebagai pengaruh lingkungan kultur. Hal inilah kita harus benar-benar menyikapi kapan harus dilakukan. Jadi jangan selalu menyalahkan seseorang karena kritikan tetapi mencari jawaban mengapa hal itu terjadi?



Konstruktivisme



Konstruktivisme adalah teori pengetahuan ( epistemologi ) [1] yang berpendapat bahwa manusia menghasilkan pengetahuan dan makna dari interaksi antara pengalaman mereka dan ide-ide mereka (Selama masa kanak-kanak, adalah interaksi antara pengalaman dan refleks atau perilaku-pola (Piaget disebut skema ini). .... Konstruktivisme bukan merupakan pedagogi tertentu, meskipun sering bingung dengan konstruksionisme , teori pendidikan yang dikembangkan oleh Seymour Papert , terinspirasi oleh konstruktivis dan pembelajaran pengalaman gagasan Jean Piaget Piaget teori. pembelajaran konstruktivis memiliki luas mulai berdampak pada teori pembelajaran dan metode pengajaran dalam pendidikan dan merupakan tema yang mendasari banyak reformasi pendidikan gerakan telah. Penelitian mendukung pengajaran konstruktivis untuk teknik telah dicampur, dengan beberapa penelitian yang mendukung teknik ini dan penelitian lainnya bertentangan dengan hasil tersebut. (wikipedia.com).



Sebagai bahan renungan saya petik dari Wikipedia.com dibawah ini biar kita bisa elegan menghadapi kritikan siswa. (KepSek)

intervensi pembelajaran Konstruktivis

The nature of the learner [ sunting ] Sifat dari peserta didik

The learner as a unique individual [ sunting ] Pelajar sebagai individu yang unik

Social constructivism views each learner as a unique individual with unique needs and backgrounds. Sosial konstruktivisme dilihat setiap pelajar sebagai unik individu dengan kebutuhan unik dan latar belakang. The learner is also seen as complex and multidimensional. pelajar ini juga dilihat sebagai kompleks dan multidimensi. Social constructivism not only acknowledges the uniqueness and complexity of the learner, but actually encourages, utilizes and rewards it as an integral part of the learning process (Wertsch 1997). konstruktivisme sosial tidak hanya mengakui keunikan dan kompleksitas dari peserta didik, namun sebenarnya mendorong, menggunakan dan manfaat sebagai bagian integral dari proses pembelajaran (Wertsch 1997).

The importance of the background and culture of the learner [ sunting ] Pentingnya latar belakang dan budaya pelajar

Social constructivism encourages the learner to arrive at his or her version of the truth, influenced by his or her background, culture or embedded worldview . konstruktivisme sosial mendorong pelajar untuk tiba di atau dia versinya kebenaran, dipengaruhi oleh atau dia latar belakangnya, budaya atau tertanam pandangan dunia . Historical developments and symbol systems, such as language, logic, and mathematical systems, are inherited by the learner as a member of a particular culture and these are learned throughout the learner's life. perkembangan sejarah dan sistem simbol, seperti bahasa, logika, dan sistem matematika, yang diwarisi oleh pelajar sebagai anggota kebudayaan tertentu dan ini dipelajari sepanjang hidup pembelajar. This also stresses the importance of the nature of the learner's social interaction with knowledgeable members of the society. Ini juga menekankan pentingnya sifat interaksi sosial peserta didik dengan pengetahuan anggota masyarakat. Without the social interaction with other more knowledgeable people, it is impossible to acquire social meaning of important symbol systems and learn how to utilize them. Tanpa interaksi sosial dengan orang yang lebih berpengetahuan lain, adalah mustahil untuk mendapatkan makna sosial dari sistem simbol penting dan belajar bagaimana untuk memanfaatkan mereka. Young children develop their thinking abilities by interacting with other children, adults and the physical world. Anak-anak mengembangkan kemampuan berpikir mereka dengan berinteraksi dengan anak-anak lain, orang dewasa dan dunia fisik. From the social constructivist viewpoint, it is thus important to take into account the background and culture of the learner throughout the learning process, as this background also helps to shape the knowledge and truth that the learner creates, discovers and attains in the learning process (Wertsch 1997). Dari sudut pandang konstruktivis sosial, sehingga ia adalah penting untuk mempertimbangkan latar belakang dan budaya dari peserta didik selama proses pembelajaran, sebagai latar belakang ini juga membantu untuk membentuk pengetahuan dan kebenaran bahwa pelajar menciptakan, menemukan dan mencapai dalam proses pembelajaran ( Wertsch 1997).

The responsibility for learning [ sunting ] Tanggung jawab untuk belajar

Furthermore, it is argued that the responsibility of learning should reside increasingly with the learner (Glasersfeld, 1989). Selain itu, berpendapat bahwa tanggung jawab belajar harus berada semakin dengan pembelajar (Glasersfeld, 1989). Social constructivism thus emphasizes the importance of the learner being actively involved in the learning process, unlike previous educational viewpoints where the responsibility rested with the instructor to teach and where the learner played a passive , receptive role. konstruktivisme sosial dengan demikian menekankan pentingnya pelajar yang sedang aktif terlibat dalam proses pembelajaran, tidak seperti sudut pandang pendidikan sebelumnya di mana tanggung jawab beristirahat dengan instruktur untuk mengajar dan di mana pelajar memainkan pasif menerima peran,. Von Glasersfeld (1989) emphasizes that learners construct their own understanding and that they do not simply mirror and reflect what they read. Von Glasersfeld (1989) menekankan bahwa peserta didik membangun pemahaman mereka sendiri dan bahwa mereka tidak hanya cermin dan merefleksikan apa yang mereka baca. Learners look for meaning and will try to find regularity and order in the events of the world even in the absence of full or complete information. Pembelajar mencari makna dan akan berusaha untuk menemukan keteraturan dan ketertiban pada peristiwa dunia bahkan tanpa adanya informasi yang lengkap atau lengkap.

The motivation for learning [ sunting ] Motivasi untuk belajar

Another crucial assumption regarding the nature of the learner concerns the level and source of motivation for learning. Lain asumsi penting tentang sifat dari keprihatinan pelajar tingkat dan sumber motivasi untuk belajar. According to Von Glasersfeld (1989) sustaining motivation to learn is strongly dependent on the learner's confidence in his or her potential for learning. Menurut Von Glasersfeld (1989) mempertahankan motivasi untuk belajar sangat tergantung pada kepercayaan diri pelajar dalam potensi dirinya untuk belajar. These feelings of competence and belief in potential to solve new problems, are derived from first-hand experience of mastery of problems in the past and are much more powerful than any external acknowledgment and motivation (Prawat and Floden 1994). Perasaan kompetensi dan kepercayaan dalam potensi untuk memecahkan masalah baru, berasal dari pengalaman tangan pertama penguasaan masalah di masa lalu dan jauh lebih kuat daripada pengakuan eksternal dan motivasi (Prawat dan Floden 1994). This links up with Vygotsky 's " zone of proximal development " (Vygotsky 1978) where learners are challenged within close proximity to, yet slightly above, their current level of development. Ini link dengan Vygotsky s '" zona pengembangan proksimal "(Vygotsky 1978) di mana peserta didik ditantang dalam jarak dekat, namun sedikit di atas, tingkat saat ini perkembangan mereka. By experiencing the successful completion of challenging tasks, learners gain confidence and motivation to embark on more complex challenges. Dengan mengalami berhasil menyelesaikan tugas yang menantang, kepercayaan diri dan motivasi pelajar keuntungan untuk memulai tantangan yang lebih kompleks.

[ edit ] The role of the instructor [ sunting ] Peran instruktur

[ edit ] Instructors as facilitators [ sunting ] Instruktur sebagai fasilitator

According to the social constructivist approach, instructors have to adapt to the role of facilitators and not teachers (Bauersfeld, 1995). Menurut pendekatan konstruktivis sosial, instruktur harus menyesuaikan diri dengan peran fasilitator dan bukan guru (Bauersfeld, 1995). Where a teacher gives a didactic lecture that covers the subject matter, a facilitator helps the learner to get to his or her own understanding of the content. Dimana seorang guru memberikan didaktis kuliah yang mencakup materi pelajaran, fasilitator membantu pelajar untuk sampai ke dia sendiri atau pemahaman tentang konten. In the former scenario the learner plays a passive role and in the latter scenario the learner plays an active role in the learning process. Dalam skenario mantan pelajar memainkan peranan pasif dan dalam skenario kedua pelajar memainkan peran aktif dalam proses pembelajaran. The emphasis thus turns away from the instructor and the content, and towards the learner (Gamoran, Secada, & Marrett, 1998). Penekanan demikian berpaling dari instruktur dan konten, dan terhadap peserta didik (Gamoran, Secada, & Marrett, 1998). This dramatic change of role implies that a facilitator needs to display a totally different set of skills than a teacher (Brownstein 2001). Perubahan dramatis peran menyiratkan bahwa fasilitator perlu untuk menampilkan satu set keterampilan yang sama sekali berbeda dari seorang guru (Brownstein 2001). A teacher tells, a facilitator asks; a teacher lectures from the front, a facilitator supports from the back; a teacher gives answers according to a set curriculum, a facilitator provides guidelines and creates the environment for the learner to arrive at his or her own conclusions; a teacher mostly gives a monologue, a facilitator is in continuous dialogue with the learners (Rhodes and Bellamy, 1999). Seorang guru mengatakan, fasilitator meminta; guru ceramah dari depan, fasilitator mendukung dari belakang, guru memberikan jawaban sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan, fasilitator memberikan panduan dan menciptakan lingkungan untuk pelajar untuk tiba di sendiri kesimpulan; guru kebanyakan memberikan monolog, fasilitator dalam dialog terus-menerus dengan peserta didik (Rhodes dan Bellamy, 1999). A facilitator should also be able to adapt the learning experience 'in mid-air' by taking the initiative to steer the learning experience to where the learners want to create value. Seorang fasilitator juga harus mampu beradaptasi pengalaman belajar 'di udara dengan mengambil inisiatif untuk mengarahkan pengalaman belajar ke tempat peserta didik ingin menciptakan nilai.

The learning environment should also be designed to support and challenge the learner's thinking (Di Vesta, 1987). Lingkungan belajar juga harus dirancang untuk mendukung dan menantang pemikiran pembelajar (Di Vesta, 1987). While it is advocated to give the learner ownership of the problem and solution process, it is not the case that any activity or any solution is adequate. Sementara itu menganjurkan untuk memberikan kepemilikan pelajar dari proses masalah dan solusi, itu tidak terjadi bahwa setiap kegiatan atau solusi apapun memadai. The critical goal is to support the learner in becoming an effective thinker. Tujuan penting adalah untuk mendukung pelajar menjadi seorang pemikir yang efektif. This can be achieved by assuming multiple roles, such as consultant and coach. Hal ini dapat dicapai dengan asumsi peran ganda, seperti konsultan dan pelatih.

A few strategies for cooperative learning include Sebuah sedikit strategi pembelajaran kooperatif meliputi

* Reciprocal Questioning: students work together to ask and answer questions Reciprocal Bertanya: siswa bekerja sama untuk bertanya dan menjawab pertanyaan
* Jigsaw Classroom: students become "experts" on one part of a group project and teach it to the others in their group Jigsaw Kelas: siswa menjadi "pakar" di salah satu bagian dari proyek kelompok dan mengajarkannya kepada yang lain dalam kelompok mereka
* Structured Controversies: Students work together to research a particular controversy (Woolfolk 2010) Structured Kontroversi: Siswa bekerja sama untuk penelitian kontroversi tertentu (Woolfolk 2010)

[ edit ] The nature of the learning process [ sunting ] Sifat dari proses pembelajaran

[ edit ] Learning is an active, social process [ sunting ] Belajar adalah sosial, proses aktif

Social constructivism, strongly influenced by Vygotsky's (1978) work, suggests that knowledge is first constructed in a social context and is then appropriated by individuals (Bruning et al., 1999; M. Cole, 1991; Eggan & Kauchak, 2004). konstruktivisme sosial, sangat dipengaruhi oleh (1978) karya Vygotsky, menunjukkan pengetahuan yang pertama dibangun dalam konteks sosial dan kemudian disesuaikan oleh individu (Bruning et al, 1999;. M. Cole, 1991; Eggan & Kauchak, 2004). According to social constructivists, the process of sharing individual perspectives-called collaborative elaboration (Meter & Stevens, 2000)-results in learners constructing understanding together that wouldn't be possible alone (Greeno et al., 1996) Menurut konstruktivis sosial, proses individu yang disebut kolaborasi elaborasi berbagi perspektif (Meter & Stevens, 2000)-hasil peserta didik membangun pemahaman bersama bahwa tidak akan mungkin sendirian (Greeno et al., 1996)

Social constructivist scholars view learning as an active process where learners should learn to discover principles, concepts and facts for themselves, hence the importance of encouraging guesswork and intuitive thinking in learners (Brown et al.1989; Ackerman 1996). sarjana konstruktivis sosial melihat belajar sebagai suatu proses aktif di mana peserta didik harus belajar untuk menemukan prinsip, konsep dan fakta untuk diri mereka sendiri, maka pentingnya mendorong penilaian dan berpikir intuitif dalam peserta didik (Brown et al.1989; Ackerman 1996). In fact, for the social constructivist, reality is not something that we can discover because it does not pre-exist prior to our social invention of it. Bahkan, untuk konstruktivis sosial, realitas bukanlah sesuatu yang kita dapat menemukan karena tidak pra-ada sebelum penemuan sosial kita itu. Kukla (2000) argues that reality is constructed by our own activities and that people, together as members of a society, invent the properties of the world. Kukla (2000) berpendapat realitas yang dibangun oleh kegiatan kita sendiri dan bahwa orang-orang, bersama-sama sebagai anggota masyarakat, menciptakan sifat-sifat dunia.

Other constructivist scholars agree with this and emphasize that individuals make meanings through the interactions with each other and with the environment they live in. Knowledge is thus a product of humans and is socially and culturally constructed (Ernest 1991; Prawat and Floden 1994). sarjana konstruktivis lain setuju dengan ini dan menekankan bahwa individu membuat makna melalui interaksi satu sama lain dan dengan lingkungan mereka tinggal masuk Pengetahuan demikian produk manusia dan secara sosial dan kultural (Ernest 1991; Prawat dan Floden 1994). McMahon (1997) agrees that learning is a social process. McMahon (1997) setuju bahwa belajar adalah sebuah proses sosial. He further states that learning is not a process that only takes place inside our minds, nor is it a passive development of our behaviours that is shaped by external forces and that meaningful learning occurs when individuals are engaged in social activities. Dia lebih jauh menyatakan bahwa belajar adalah sebuah proses yang tidak hanya terjadi di dalam pikiran kita, juga bukan perkembangan pasif dari perilaku kita yang dibentuk oleh kekuatan eksternal dan bahwa belajar bermakna terjadi ketika individu terlibat dalam kegiatan sosial.

Vygotsky (1978) also highlighted the convergence of the social and practical elements in learning by saying that the most significant moment in the course of intellectual development occurs when speech and practical activity, two previously completely independent lines of development, converge. Vygotsky (1978) juga menyoroti konvergensi unsur-unsur sosial dan praktis dalam belajar dengan mengatakan bahwa saat yang paling signifikan dalam proses perkembangan intelektual terjadi ketika berbicara dan praktis aktivitas, dua baris sebelumnya sama sekali terlepas dari pembangunan, berkumpul. Through practical activity a child constructs meaning on an intrapersonal level, while speech connects this meaning with the interpersonal world shared by the child and her/his culture. Melalui kegiatan praktis seorang anak konstruksi makna pada tingkat intrapersonal, sementara pidato menghubungkan makna ini dengan dunia interpersonal bersama oleh anak dan / nya budaya nya.

[ edit ] Dynamic interaction between task, instructor and learner [ sunting ] interaksi dinamis antara tugas, instruktur dan peserta didik

A further characteristic of the role of the facilitator in the social constructivist viewpoint, is that the instructor and the learners are equally involved in learning from each other as well (Holt and Willard-Holt 2000). Karakteristik lebih lanjut tentang peran fasilitator dalam sudut pandang konstruktivis sosial, adalah bahwa instruktur dan peserta didik sama-sama terlibat dalam belajar dari satu sama lain juga (Holt dan Willard-Holt 2000). This means that the learning experience is both subjective and objective and requires that the instructor's culture, values and background become an essential part of the interplay between learners and tasks in the shaping of meaning. Ini berarti bahwa pengalaman belajar adalah baik subjektif dan objektif dan mengharuskan budaya instruktur, nilai-nilai dan latar belakang menjadi bagian penting dari interaksi antara peserta didik dan tugas dalam membentuk makna. Learners compare their version of the truth with that of the instructor and fellow learners to get to a new, socially tested version of truth (Kukla 2000). Pembelajar membandingkan versi mereka kebenaran dengan yang instruktur dan peserta didik sesama untuk mendapatkan ke versi, baru sosial diuji kebenaran (Kukla 2000). The task or problem is thus the interface between the instructor and the learner (McMahon 1997). Tugas atau masalah demikian antarmuka antara instruktur dan peserta didik (McMahon 1997). This creates a dynamic interaction between task, instructor and learner. Hal ini menciptakan interaksi yang dinamis antara tugas, instruktur dan pelajar. This entails that learners and instructors should develop an awareness of each other's viewpoints and then look to their own beliefs, standards and values, thus being both subjective and objective at the same time (Savery 1994). Hal ini mensyaratkan bahwa peserta didik dan instruktur harus mengembangkan kesadaran tentang sudut pandang masing-masing dan kemudian melihat mereka sendiri, standar keyakinan dan nilai-nilai, sehingga menjadi baik subjektif dan objektif pada waktu yang sama (Savery 1994).

Some studies argue for the importance of mentoring in the process of learning (Archee and Duin 1995; Brown et al. 1989). Beberapa penelitian berpendapat akan pentingnya pendampingan dalam proses pembelajaran (Archee dan Duin 1995; Brown et al 1989.). The social constructivist model thus emphasizes the importance of the relationship between the student and the instructor in the learning process. Model konstruktivis sosial dengan demikian menekankan pentingnya hubungan antara mahasiswa dan instruktur dalam proses belajar.

Some learning approaches that could harbour this interactive learning include reciprocal teaching, peer collaboration, cognitive apprenticeship , problem-based instruction, web quests, anchored instruction and other approaches that involve learning with others. Beberapa pendekatan pembelajaran yang bisa belajar interaktif pelabuhan ini termasuk mengajar timbal balik, kolaborasi peer, magang kognitif , instruksi berbasis masalah, quests web, instruksi berlabuh dan pendekatan lain yang melibatkan belajar dengan orang lain.



Teori konstruktivistik lebih bijaksana dan arif dalam menyikapi segala perubahan. Semua teori dijadikan bahan pertimbangan sebagai acuan yang terbaik sehingga pemahaman teori ini sangat diperhitungkan pada era sekarang.

Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompok dalam teori pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam Nur, 2002: 8).



Teori konstruktivik menganggap satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut ( Nur, 2002 :8).



Piranti dua teori besar tersebut dalam penjajakan saya secara general menganggap bahwa yang terjadi adalah proses dua teori yang kadang-kadang salah tempat dan waktunya. Terkait dengan UNAS yang dihadapi anak kelas XII. Siwa seakan dipaksa belajar soal dan terus menerus dengan akar kata serius dalam pemahaman behaviorisme dan ketika tidak sesuai dengan pendahulunya guru yang bersanghkutan dianggap tidak profesional, lemah, lembek, tidak berkompeten dan sebagainya. Hal inilah ketika seorang kepala sekolah tidak hati-hati menaggapinya yang disalahkan pasti gurunya. Menurut pendapat saya pribasdi tidak boleh seperti itu karena hal itu dalam satu sisi hal prerogatif guru walaupun dalam wawsan internal. Hal yang lebih baik dilkukan adalah sharing idea atau menayakan kondisi yang sebenarnya dan bagaimana solusinya. ketika hal itu tidak ada perubahan maka bisa diambil kebijakan yang lain. Sungguh indah jika hal itu bisa diterapkan. Amiennn.mohon maaf.